“Allah telah mengirim kami untuk mengeluarkan siapa yang Dia kehendaki dari penghambaan kepada hamba menjadi penghambaan kepada Allah, dan dari sempitnya dunia menuju keluasan dunia-akhirat, dari penyimpangan agama- agama yang ada menuju keadilan Islam.” Perkataan Rubai bin Amir kepada Panglima Persia Rustum
Kepemimpinan profetik adalah kepemimpinan yang membebaskan penghambaan kepada manusia hanya kepada Allah semata. Kepemimpinan profetik dapat kita pelajari dan analisa dari kisah kepemimpinan para nabi dalam Al-Qur’an. Bagaimana lika-liku mereka dalam menyadarkan dan membebaskan masyarakatnya serta membangun peradaban baru yang menyejarah.
Yang penting, seperti kata Bung Karno, jangan sampai kita hanya mendapat abu sejarahnya saja, tetapi api sejarah kepemimpinan para nabi lah yang harus kita dapat dan kita terapkan dalam proses membangun Indonesia yang lebih baik dan bermartabat ini. Mengutip konsep Alm. Prof. Dr. Kuntowijoyo tentang kepemimpinan profetik yang berdasarkan pemahaman Al-Qur’an surah Ali-Imran ayat 110, kepemimpinan profetik adalah kepemimpinan yang membawa misi humanisasi, liberasi, dan transendensi.
Menurut Kunto, kepemimpinan profetik yang pertama adalah ta’muruna bil ma’rūf, yang diartikan sebagai misi humanisasi, yaitu misi yang memanusiakan manusia, mengangkat harkat hidup manusia, dan menjadikan manusia bertanggungjawab atas apa yang telah dikerjakannya. Kepemimpinan profetik yang kedua adalah tanhauna ’anil munkar yang diartikan sebagai misi liberasi, yaitu misi membebaskan manusia dari belenggu keterpurukan dan ketertindasan. Kepemimpinan profetik yang ketiga adalah tu’minūna
billâh yang diartikan sebagai misi transendensi, yaitu manifestasi dari misi humanisasi dan liberasi yang diartikan sebagai kesadaran ilahiyah yang mampu menggerakkan hati dan bersikap ikhlas terhadap segala yang telah dilakukan.
Siapakah manusia pemimpin pertama yang diciptakan Allah? Dialah Nabi Adam as., bukan hanya manusia pertama, tetapi juga Nabi sekaligus pemimpin profetik pertama manusia. Kisahnya termaktub dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 30: “Dan (ingatlah)
ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata: ‘Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di dunia, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?’ Dia berfirman: ‘Sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Ayat di atas menjelaskan kriteria utama kesuksesan seorang pemimpin, yaitu kesadaran akan peran danfungsinya sebagai khalifah atau wakil Allah di mukabumi. Ini merupakan ciri kepemimpinan profetik yang pertama. Artinya, seorang pemimpin harus disertai visi dan misi ke-ilahiahan (ketuhanan) yang kuat dalam bekerja menjalankan amanahnya melayani dan membenahi masyarakat, sehingga terbentuk masyarakat yang “Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur”.
Tanpa visi dan misi ke-ilahiahan yang kuat, keberhasilan seorang pemimpin adalah keberhasilan semu, kesuksesan sementara yang tidak akan meninggalkan kesan dan pengaruh yang kuat untuk generasi penerusnya.
Dengan visi dan misi ke-ilahiahan yang kuat, seorang pemimpin akan memiliki legitimasi kepemimpinan yang sangat kokoh. Dengan visi misi masa depan yang tajam dan kemampuannya menjelaskan konsep-konsep dan solusi Islam dalam bahasa yang mudahdimengerti dan dipahami oleh masyarakat luas, akanmembuat seorang pemimpin semakin mendapatkan pengakuan dari khalayak umum seperti para malaikat yang memberikan pengakuan kepada Nabi Adam as. Bayangkan, sebelumnya para malaikat menduga bahwa manusia hanyalah akan membuat kerusakan di muka bumi dan menumpahkan darah di antara mereka. Namun, setelah Allah memberikan ilmu dan hikmahnya kepada Nabi Adam as., sirnalah kekhawatiran Mereka, bertasbih, dan bahkan bersujud kepada Nabi Adam as., sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 31–34.
Dalam ayat-ayatnya yang lain, Allah menyatakan bahwa seorang pemimpin profetik itu harus seorang yang berilmu, kuat, dan amanah, seperti tersurah dalam ayat-ayat berikut:
“…Allah telah memilihnya (Thalut) (menjadi raja) kamu dan memberikan kelebihan ilmu dan fisik. Allah memberikan kerajaan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Allah maha luas, maha mengetahui.” QS. Al-Baqarah: 247
“Dan ketika dia (Yusuf) telah cukup dewasa, Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu...” QS. Yusuf: 22
“Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman (tentang hukum yang lebih tepat). Dan kepada masing-masing (Dawud dan Sulaiman) Kami berikan hikmah dan ilmu....” QS. Al-Anbiya’: 79
“Dan salah seorang dari kedua (perempuan) itu berkata: Wahai ayahku! (Syu’aib), jadikanlah ia sebagai pekerja (pada kita), sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya.” QS. Al-Qashshash: 26
Kriteria berilmu, kuat, dan amanah merupakan ciri kepemimpinan profetik yang kedua, ketiga, dan keempat. Seorang pemimpin profetik haruslah seorang yang mempunyai ilmu. Ilmu di sini adalah ilmu pengetahuan dan hikmah yang menjadikan dirinya mampu
memutuskan kebijakan yang tepat dan sejalan dengan akal sehat dan sunatullah. Seorang yang lemah akalnya, pasti tidak akan mampu menyelesaikan urusan-urusan rakyatnya. Lebih dari itu, ia akan kesulitan untuk memutuskan perkara-perkara pelik yang harus segera diambil tindakan.
Pemimpin yang memiliki kekuatan akal akan mampu menciptakan kebijakan-kebijakan cerdas dan bijaksana, yang melindungi dan mensejahterakan rakyatnya. Sebaliknya, pemimpin yang lemah ilmunya, sedikit banyak pasti akan merugikan dan menyesatkan rakyatnya. Ilmu yang dalam akan mencegah seorang pemimpin dari tindakan tergesa-gesa, sikap emosional, dan tidak sabar. Seorang pemimpin yang lemah ilmunya, cenderung akan mudah mengeluh, gampang emosi, serampangan, dan gegabah dalam mengambil tindakan. Pemimpin seperti ini tentunya akan semakin menyusahkan rakyat yang dipimpinnya.
Seorang pemimpin profetik harus memiliki kekuatan ketika ia memegang amanah kepemimpinan. Kepemimpinan tidak boleh diserahkan kepada orang-orang yang lemah. Dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwa Rasulullah saw.,pernah menolak permintaan dari Abu Dzar Al-Ghifariy yang menginginkan sebuah kekuasaan. Diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa Abu Dzar berkata, “Aku ber- kata kepada Rasulullah saw.: ‘Ya Rasulullah tidakkah engkau mengangkatku sebagai penguasa (amil)?’ Rasulullah saw., menjawab: ‘Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau orang yang lemah. Padahal, kekuasaan itu adalah amanah yang kelak di hari akhir hanya akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya dengan hak, dan diserahkan kepada orang yang mampu memikulnya.’”
Seorang pemimpin profetik juga harus seorang yang amanah. Orang yang memiliki kredibilitas dan integritas yang tinggi, yang dapat dipercaya olehmasyarakatnya. Tidak goyah oleh godaan harta, tahta, dan nafsu seksual dalam menjalankan amanah kepemimpinannya. Betapa banyak kita saksikan dalam sejarah kepemimpinan manusia, pemimpin-pemimpin yang akhirnya tidak amanah, hanya karena terbius oleh kehidupan yang mewah berlebihan, manisnya kekuasaan, dan akhirnya melakukan korupsi kolusi
yang menyengsarakan bangsa dan negaranya. Pemimpin profetik adalah seorang yang tahan terhadap semua hal di atas, tetap amanah dalam segala kondisi hingga mampu berjaya di dunia akhirat.
Kriteria pemimpin profetik yang kelima adalah memiliki daya regenerasi atau seorang yang mampu mewariskan sifat-sifat kepemimpinan profetiknya seperti kisah Nabi Ibrahim dalam Al Qur’an surah Al-Baqarah ayat 124: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman: Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia. Dia (Ibrahim) berkata: Dan (juga) dari anak cucuku? Allah berfirman: (benar, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.”
Karena kepemimpinan profetik bukan hanya janji antara Allah dengan hamba-Nya atau antara hamba yang satu dengan hamba yang lain semata. Tetapi, kepemimpinan profetik adalah janji antara Allah dankontrak antara hamba yang satu dengan hamba yang lain sekaligus. Hanya hamba yang memiliki kesadaran akan peran dan fungsinya sebagai khalifah atau wakil Allah di muka bumi: berilmu, kuat, amanah, dan tidak zalim-lah yang akan memegang janji dan kontrak kepemimpinan dengan benar. Janji kepemimpinan
dengan Allah dan kontrak kepemimpinan dengan sesamanya.
Bagaimana mungkin kita berjuang menegakkan kepemimpinan profetik selama kita hidup, namun kita gagal mewariskannya, apalagi jika gagal mewariskan kepemimpinan profetik tersebut kepada anak cucu kita. Bila kita gagal mewariskan kepemimpinan profetik kepada generasi penerus maka kita gagal mewariskan kondisi yang lebih baik. Jangan sampai anak cucu kita hanya menjadi anak cucu biologis dari kita, tetapi bukan anak ideologis kita. Pemimpin profetik hanya puas ketika mereka dapat melahirkan generasi penerus yang lebih baik dibandingkan dengan era mereka. Oleh karenanya, mereka sangat serius dan memperhatikan pembinaan generasi penerus. Mereka lakukan “by design not by accident”, terencana rapi dan bagian dari rencana besar pembentukan peradaban.
Kesemuanya itu dilandasi ketakwaan yang merupakan karakteristik keenam yang penting dimilikiseorang pemimpin maupun penguasa. Sebegitu penting sifat ini, tatkala mengangkat pemimpin perang maupun ekspedisi perang, Nabi Muhammad selalu menekankan aspek ini kepada para pemimpinnya. Dalam sebuah riwayat dituturkan bahwa tatkala Nabi Muhammad melantik seorang panglima pasukan atau ekspedisi perang beliau berpesan kepada mereka, terutama pesan untuk selalu bertakwa kepada Allah dan bersikap baik kepada kaum muslim yang bersamanya (HR. Muslim dan Ahmad).
Untuk zaman sekarang ini, hendaklah kita dapat memilih pemimpin yang memiliki loyalitas yang mutlak kepada Allah, Rasul, dan orang-orang yang beriman seperti terdapat dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 55–56: “Sesungguhnya pemimpin kamu hanya-lah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi pemimpinnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.”
Kalau memang pemimpin profetik dengan semua kriteria di atas saat ini belum ada dan belum tampak, marilah kita curahkan segenap potensi dan sumber daya yang kita miliki, dengan kerjasama yang rapi dan kokoh untuk mempersiapkan, membina, dan me-ngembangkan para pemimpin profetik tersebut. Karena setiap kita adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas orang-orang yang dipimpinnya di hari kiamat kelak. Karena itu, kepemimpinan seperti apa dan kepemimpinan dengan kualitas yang bagaimana yang akan kita tuliskan dalam tinta sejarah bangsa dan negara ini?
Semoga kita semua adalah bagian kecil dari usaha membangun peradaban yang agung ini. Marilah kuatkan barisan, berjuang dengan ikhlas dan ihsan, bersinergi, mentransformasikan dan membebaskan masyarakat untuk menyongsong Indonesia yang lebih baik dan bermartabat.
